Dahulu kala hiduplah seorang pemuda sebatang kara. Namanya Toba. Ia memiliki sebuah lahan pertanian kecil yang dikerjakannya dengan rajin.
Toba sering pergi menangkap ikan dengan jala di sungai dekat rumahnya. Pada suatu sore ia pergi mencari ikan. Sudah berkali-kali ia menebar jala namun tak satupun ikan didapatnya. Hari pun sudah mulai gelap. Akhirnya ia berkata dalam hati, “Biar kucoba melempar jala ini sekali lagi. Bila tidak dapat ikan lagi, aku pulang saja.” Ternyata kali ini usahanya membawa hasil. Seekor ikan mas besar terperangkap dalam jalanya. Toba pun pulang dengan hati gembira.
Sesampai di rumah, Toba bersiap-siap memasak ikan itu. Namun ia terperanjat melihat ikan itu mengedipkan matanya. Lama ia memandangi ikan itu. Ikan itu tidak pernah berkedip lagi. “Aku pasti salah lihat tadi, mana mungkin ikan mengedipkan mata,” pikir Toba. Namun makin lama dipandanginya, Toba melihat ikan itu indah sekali. Warnanya agak merah keemasan, sisik-sisiknya pun nampak lebih mengkilat. Akhirnya ia mengurungkan niatnya menyantap ikan itu. Ikan itu diletakkannya dalam tempayan dan diberinya makanan.
Esok harinya Toba ke ladang seperti biasa. Menjelang sore ia pulang. Sesampai di rumah ia ke dapur ingin mengambil jala. Betapa terkejutnya ia melihat makanan telah siap di atas meja. Ia heran, “Siapa yang memasak?” Namun perutnya yang lapar membuatnya segera makan tanpa banyak berpikir. Setelah makan ia pun sangat mengantuk dan segera tidur.
Keesokan harinya Toba pergi ke ladang dan ketika pulang ia lagi-lagi mendapati makanan lezat di meja dapur. Ia makan dengan lahap, dan kemudian ia pun segera pergi tidur.
Pada hari ketiga, Toba berpura-pura pergi ke ladang. Ia ke luar rumah lalu bersembunyi di balik semak-semak di dekat rumahnya. Tak lama kemudian ia melihat asap dari dapur rumahnya. Ia pun bergegas kembali ke rumah. Betapa terkejutnya ia melihat seorang wanita cantik jelita sedang memasak.
“Siapakah kau? Mengapa kau memasak untukku?” tanya Toba.
“Aku ikan mas yang kau tangkap di sungai. Kau tidak membunuhku, jadi sekarang aku membalas budi dengan memasak untukmu,” jawab wanita itu.
Toba jatuh cinta kepada wanita itu. Beberapa hari kemudian ia pun memintanya menjadi isterinya.
Wanita itu menerima pinangan Toba dengan satu syarat. “Kau harus bersumpah, kau tidak akan pernah mengatakan bahwa aku berasal dari ikan.”
Toba bersumpah dan mereka pun menikah dan hidup berbahagia. Kebahagiaan mereka bertambah ketika anak laki-laki mereka lahir. Anak itu diberi nama Samosir.
Samosir sangat dimanjakan ibunya sehingga tumbuh menjadi anak yang nakal. Ia juga selalu lapar. Makanan apa saja dihabiskannya.
Pada suatu siang, Samosir disuruh ibunya mengantarkan makanan untuk ayahnya di ladang. Ibunya sudah menyiapkan bungkusan nasi dan air.
Siang itu panas terik. Toba kepanasan dan kehausan. Ia girang melihat anaknya datang membawakan nasi dan air untuknya. Namun betapa kecewanya ia ketika melihat isi bungkusan hanya sisa-sisa nasi dan tulang ayam. Ia pun meraih botol air. Ternyata hanya tersisa beberapa tetes air.
“Samosir anakku, mengapa ibumu menyuruhmu membawa makanan seperti ini?”
Samosir pun bercerita, “Aku lapar, ayah. Tadi aku makan nasi ayah sedikit.”
Toba murka. “Anak nakal. Dasar kau anak ikan!”
Samosir terkejut. Toba juga merasa bersalah, namun sudah terlambat.
Sambil menangis Samosir berlari pulang.
“Ibu! Ibu!” panggilnya.
Ibunya bertanya, “Mengapa kau menangis, nak?”
Samosir bercerita tentang kejadian di ladang tadi. Ibunya berkata,”Sekarang kita harus kembali ke asal kita, nak. Ayahmu telah melanggar sumpahnya.”
Pada saat itu cuaca tiba-tiba menjadi mendung dan segera turun hujan yang sangat lebat disertai petir dan kilat. Samosir dan ibunya lenyap.
Hujan terus turun hingga seluruh lembah digenangi air. Genangan air itu kemudian membentuk sebuah danau dengan sebuah pulau kecil. Danau itu disebut danau Toba dan pulau di tengahnya disebut pulau Samosir